
Dewasa ini topik keberlanjutan atau sustainability kian meningkat diperbincangkan hingga tingkat global. Namun demikian, idenya sendiri bukanlah hal baru. Jauh sebelum istilah "keberlanjutan" dan "ESG" menjadi standar baru, prinsip keberlanjutan ini telah menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara. Nenek moyang kita telah mempraktikan metode bercocok tanam dengan menjaga keseimbangan alam. Contohnya, praktik rotasi tanaman atau membiarkan lahan beristirahat (bera) adalah bentuk kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam, sebuah pemahaman bahwa tanah sebagai sumber penunjang kehidupan perlu dirawat untuk kepentingan keberlanjutan hidup generasi masa yang akan datang.
Dari konsep yang yang telah dipraktikan ini kemudian menemukan jalannya ke dunia modern melalui konsep Triple Bottom Line (3P) yang diperkenalkan pada tahun 1990-an. Konsep ini membawa pandangan bisnis yang hanya fokus pada Profit (Keuntungan) dengan menambahkan dua pilar yang setara yaitu People (Manusia) dan Planet (Bumi). Perusahaan yang menerapkan prinsip 3P dinilai bijak, memiliki kesadaran risiko, dan menerapkan praktik bisnis yang bertanggungjawab penuh kepada lingkungan dan masyarakat secara jangka panjang.
Dorongan kuat bertindak bersama-sama secara nyata seiring munculnya kesadaran global akan perubahan iklim. Langkah awal yang signifikan adalah Protokol Kyoto pada 1997, yang menjadi komitmen kolektif pertama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Momentum ini diperbarui dan diperkuat secara masif oleh Perjanjian Paris pada 2015, yang mengikat hampir seluruh negara, untuk bersama-sama menahan laju kenaikan suhu global di bawah 2°C. Indonesia berkomitmen mengurangi emisi secara signifikan sebesar 31,89% (dengan upaya sendiri) atau 43,20% (dengan dukungan internasional) pada 2030, yang kini menjadi dasar pembentukan arah kebijakan dan regulasi keberlanjutan di berbagai sektor.
Jika 3P adalah filosofinya dan Perjanjian Paris adalah komitmennya, maka kerangka Environmental, Social, and Governance (ESG) adalah implementasi praktisnya di dunia bisnis saat ini. ESG menerjemahkan ide-ide besar tersebut menjadi kriteria yang terukur. Aspek Environmental (Lingkungan) melihat bagaimana perusahaan mengelola dampak pada lingkungan. Aspek Social (Sosial) menilai hubungan perusahaan dengan seluruh stakeholder (karyawan, pelanggan, dan masyarakat). Sementara Governance (Tata Kelola) memastikan perusahaan dijalankan dengan penerapan perilaku beretika, transparansi, akuntabilitas dan keberlanjutan.
Kini, ESG telah menjadi elemen penting yang digunakan oleh berbagai pihak lintas sektoral dan industri. Hal ini bertujuan untuk pembuatan dan pengkinian regulasi terkait pencapaian kinerja bisnis dan penilaian kelayakan investasi. Penerapan ESG memberikan gambaran tentang seberapa tangguh perusahaan tersebut dalam mengelola risiko non-finansial, meningkatkan reputasi, dan kepercayaan perusahaan serta daya saing jangka panjang. Strategi bisnis yang mengimplementasikan ESG secara nyata dinilai sebagai perusahaan yang memiliki komitmen pada keberlanjutan dan praktek bisnis yang bertanggungjawab dalam jangka panjang.
Perjalanan dari kearifan lokal hingga menjadi kerangka ESG menunjukkan sebuah pergeseran fundamental yang semakin komprehensif dan menjadi pedoman yang berlaku secara universal serta mengepankan keberlanjutan bumi kita yang hijau untuk generasi mendatang, karena bumi ini juga milik mereka.
#BCAforsustainablity.